Saturday, 21 April 2012

Abdullah bin Ummi Maktum


Abdullah bin Ummi MaktumCetak

Masih ingat dengan seorang sahabat Nabi yang tak dapat melihat? Yang karenanya Allah lalu menegur Nabi dan menurunkan surat “A’basa”?
  1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
  2. karena telah datang seorang buta kepadanya.
  3. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
  4. atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
  5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
  6. Maka kamu melayaninya.
  7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
  8. dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
  9. sedang ia takut kepada (Allah),
  10. Maka kamu mengabaikannya.
  11. sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
Beliau adalah Abdullah bin Ummi Maktum ra, Seorang sosok sahabat yang senantiasa tawadlhu dalam menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Suatu ketika sahabat Nabi ini menghampiri baginda Rasulullah Saw, ia hendak meminta izin, untuk tidak mengikuti jamaah subuh, karena tak ada yang menuntunnya menuju masjid. Setelah mendengar alasannya, baginda Rasul bertanya,“Apakah engkau mendengar adzan?”, Abdullah lantas menjawab,“Tentu baginda,” “Kalau begitu tidak ada keringanan untukmu”, tandas Rasul.
Layaknya hamba Allah yang senantiasa istiqomah dalam menjalankan perintahNya. Abdullah lalu melaksanakan atas apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. Dengan mantap ia berikrar untuk mendirikan jamaah subuh di masjid, sekalipun dirinya harus meraba-raba dengan tongkat untuk menuju sumber adzan.
Keesokan harinya, tatkala fajar menjelang dan adzan mulai berkumandang, Abdullah bin Ummi Maktum bergegas memenuhi panggilan Illahi. Tak lama ketika ia mengayunkan kakinya beberapa langkah, tiba-tiba ia tersandung sebuah batu, badannya lalu tersungkur jatuh, dan sebagian ongkahan batu itu tepat mengenai wajahnya, dengan seketika darahpun mengalir dari mukanya yang mulia.
Dengan cepat Abdullah kembali bangkit, sembari mengusap darah yang membasahi wajahnya, iapun dengan mantap akan kembali melanjutkan perjalanan menuju masjid.
Selang beberapa saat, datang seorang sosok lelaki tak dikenal menghampirinya, kemudian lelaki itu bertanya,“Paman hendak pergi kemana?” “Saya ingin memenuhi panggilan Ilahi” jawab Abdullah tenang. Lalu laki-laki asing itu menawarkan jasanya,
“Saya akan antarkan paman ke masjid, lalu nanti kembali pulang ke rumah.” Lelaki itupun segera menuntun Abdullah menuju masjid, dan kemudian mengantarkannya kembali pulang.
Hal ini ternyata tidak hanya sekali dilakukan lelaki asing itu, tiap hari ia selalu menuntun Abdullah ke masjid dan kemudian mengantarkannya kembali ke rumah. Tentu saja Abdullah bin Ummi Maktum sangat gembira, karena ada orang yang dengan baik hati mengantarnya salat berjamaah, bahkan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Hingga tibalah suatu saat, ia ingin tahu siapa nama lelaki yang selalu mengantarnya. Ia lalu menanyakan nama lelaki budiman itu. Namun spontan lelaki asing itu menjawab,“Apa yang paman inginkan dari namaku?,” “Saya ingin berdoa kepada Allah, atas kebajikan yang selama ini engkau lakukan,” jawab Abdullah. “Tidak usah” tegas lelaki itu. “Paman tidak perlu berdoa untuk meringankan penderitaanku, dan jangan sekali-kali paman menanyai namaku” tegasnya. Abdullah terhentak dan terkejut atas jawaban lelaki itu, Iapun kemudian bersumpah atas nama Allah, meminta lelaki itu untuk tidak menemuinya lagi, sampai ia tahu betul siapa dan mengapa ia terus memandunya menuju masjid dan tidak mengharapkan balasan apapun.

Mendengar sumpah Abdullah, laki-laki itu kemudian berpikir panjang, ia kemudian berkata,“Baiklah akan aku katakan siapa diriku sebenarnya. “Aku adalah Iblis” jawabnya. Abdullah tersentak tak percaya, “Bagaimana mungkin engkau menuntunku ke masjid, sedangkan dirimu menghalangi manusia untuk mengerjakan salat?” Iblis itu kemudian menjawab,“Engkau masih ingat ketika dulu hendak melaksanak salat subuh berjamaah, dirimu tersandung batu, lalu bongkahannya melukai wajahmu?.”
“Iya, aku ingat” jawab Abdullah. “Pada saat itu aku mendengar ucapan Malaikat, bahwasannya Allah telah mengampuni setengah dari dosamu, aku takut kalau engkau tersandung untuk kedua kali, lalu Allah menghapuskan setengah dosamu yang lain” jelas Iblis. “Oleh karena itu aku selalu menuntunmu ke masjid dan mengantarkanmu pulang, khawatir jika engkau kembali ceroboh lagi ketika berangkat ke masjid”
Astaghfirullah, ternyata Iblis tak pernah rela sedikitpun melihat hamba Allah menjadi ahli ibadah. Terbukti semua cara ia tempuh, hingga ia tak segan untuk menggunakan topeng kebaikan, khawatir kalau mangsanya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

Zaid bin Haritsah


Zaid bin HaritsahCetak


"Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!" (Aisyah r.a).
Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat.
Masalahnya bukan fisik. Yang membuat sejarah hidupnya hebat dan besar adalah perjalanan panjang sejarahnya bersama Rasulullah. Zaid yang berasal dari suku yang jauh dari Mekah, sampai ke Mekah dengan status budak. Tetapi begitulah Allah Yang Maha Mempunyai rencana agar Zaid bisa bertemu dengan Rasul-Nya. Dan inilah kisah selengkapnya,
Sudah lama sekali  isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan isterinya sedang menggendong anak mereka yang masih kecil, Zaid. Di waktu ia akan menitipkan isteri  dan  anaknya  kepada  rombongan  kafilah  yang  akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, perasaan aneh menyeluruh di hatinya, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Dan kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ....
Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah 
Setelah beberapa lama Su'da, isteri Haritsah berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Hingga pada suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Kampung dibuat porak poranda. Karena tak dapat mempertahankan diri, semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya  "Zaid."
Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru: "Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya. Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa. Di kala matahari terbit ku terkenang padanya. BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma. Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula, Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana"
Perbudakan kala itu adalah sesuatu yang lumrah menurut kondisi masyarakat pada zaman itu. Dan itu tidak hanya terjadi di Jazirah Arab saja tapi bahkan hampir mendunia. Terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
Di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Ma'an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar 'Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia memberikannya kepada bibinya Khadijah. Pada waktu itu Khadijah r.a telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi nabi) Selanjutnya Khadijah memberikan Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan kepribadian beliau yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak sendiri. Dan Zaid telah merasakan hal itu sejak awal.
Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Ia berpesan kepada para hujjaj atau jamaah haji itu,agar diberitakan kepada kedua orang tuanya, bahwa ia di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang saudaranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad saw, Haritsah berkata:
"Wahai Ibnu Abdil Mutthalib ..., wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan ....
Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan'anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada Haritsah: "Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!"
Mendengar ucapan dari Rasulullah saw yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya:  "Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!"
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: "Tahukah engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu", jawab Zaid, "Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku".
Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: "Tak ada orang pilihanku kecuali Anda! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Rasulullah basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lain dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lain serunya: "Saksikan oleh halian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku ... yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya'
Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan "Ash-Shadiqul Amin", -- Orang lurus Terpercaya --, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat..., maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama "Zaid bin Muhammad" ....
Wahai….. apakah yang lebih dapat membuat hati Zaid terpaut kepada Rasulullah ketimbang orang tua kandungnya daripada setelah melihat akhlaq manusia teragung yang dikirim ditengah manusia-manusia yang sedang mengalami dekadensi moral. Jiwa kanak-kanaknya yang fitrah dengan mantap menjatuhkan pilihan yang selaras dengan kecenderungannya kepada kefitrahan.

Setelah itu, Rasulullah saw mengumumkan kepada khalayak, bahwa Zaid diangkat sebagai anaknya. Ia mewarisi Rasulullah saw dan Rasulullah saw pun mewarisinya. Setelah mengetahui demikian, bapak dan paman Zaid pergi dengan hati lapang. Zaid akhirnya masuk Islam, dan dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy. Ketika Zainab dicerai Zaid, ia dipersunting oleh Rasulullah saw. Maka tersebarlah gunjingan orang-orang Munafiq, bahwa Muhammad telah menikahi anak perempuannya. Seketika itu turun ayat 40 surah Al-Ahzab yang membatalkan 'tabanni' (mengangkat anak angkat), sekaligus penjelasan bahwa anak angkat, secara hukum tidak bisa dianggap sebagai anak kandung. Anak angkat tidak bisa saling waris mewarisi dengan bapak angkatnya. Demikian pula, isteri yang telah dicerai halal untuk dinikahi bapak angkatnya. Dalam ayat tersebut tercantum langsung nama 'Zaid', yang dengan demikian, ia adalah satu-satunya shahabat yang namanya tercantum dalam Al-Qur'an.
Zaid bin Haritsah r.a gugur sebagai syahid dalam perang Mu'tah, pada Jumadil Awwal 8 H. Pada waktu itu usianya 55 tahun.

Bilal bin Rabah


Bilal Bin RabahCetak

Bilal bin Rabah adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah (sekarang disebut Ethiopia). Bilal dilahirkan di daerah Sarah kira-kira 34 tahun sebelum hijrah dari seorang ayah yang dikenal dengan panggilan Rabah. Sedangkan ibunya dikenal dengan Hamamah. Hamamah ini adalah seorang budak wanita yang berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Oleh karenanya, sebagian orang memanggilnya dengan nama Ibnu Sauda (Anaknya budak hitam).
Masa kecil Bilal dihabisakan di Mekah, sebagai putra dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Sosok Bilal digambarkan sebagai seorang yang berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar dan hitam. Dia menjadi budak dari keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang yang menjadi tokoh penting kaum kafir.
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Mekah, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakahir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.
Bilal termasuk golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Masuknya Bilal ke dalam ajaran Islam mengakibatkan penderitaan yang mendalam karena berbagai siksaan yang diterima dari majikannya. Apalagi sang majikan Umayyah bin Khalaf termasuk tokoh penting kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal memang cukup berat, hal ini karena Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak mempunyai kuasa apapun. Berbeda dengan para sahabat Nabi Saw yang lain seperti Abu BakarAli bin Abi Thalib yang mempunyai keluarga dan siap melindungi menghadapi ulah kaum kafir yang senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum muslimin dengan berbagai cara.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang mustad’afin memang sangat kejam. Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin Rabah yang diperlakukan secara kejam oleh Umayyah bin Khalaf beserta para algojonya. Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh. Tetapi dengan segala keteguhan hati dan keyakinannya, dia tetap mempertahankan keimanannya meski harus menahan berbagai siksaan tanpa bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk, dia hanya bisa mengeluarkan kata-kata: “Ahad, Ahad (Tuhan Yang Esa)”. Tidak hanya sekedar dicambuk, kemudian Umayyah pun menjemur Bilal tanpa pakaian di tengah matahari yang sangat terik dengan menaruh batu yang besar di atas dadanya. Dengan segala kepasrahan, lagi-lagi Bilal pun hanya bisa berkata: “Ahad, Ahad”. Setiap kali menyiksa Bilal, Umayyah selalu mengingatkannya untuk kembali pada ajaran nenek moyang, dan Tuhannya Latta, Uzza, tetapi Bilal tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia tetap kukuh dan terus berkata: “Ahad, Ahad” setiap kali siksaan itu datang kepadanya. Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras Umayyah menyiksa Bilal. Bahkan dia mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal lalu menyerahkannya kepada orang-orang bodoh dan anak-anak. Umayyah menyuruh mereka untuk membawa keliling Bilal ke seluruh perkampungan Mekah serta menariknya ke seluruh dataran yang ada di kota tersebut.
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya. Melihat hal tersebut, Abu Bakar bermaksud membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya.
Namun Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas. Umayyah berkata kepada Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: “Kalau engkau tidak mau mengambil Bilal kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti sudah aku jual juga.” Kemudian Abu Bakar menjawab: “Jika engkau tidak mau menjualnya kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan tetap membelinya!”
Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah Saw bahwa dia telah membeli Bilal dan menyelamatkannya dari tangan penyiksa, maka Nabi Saw bersabda: “Libatkan aku dalam pembebasannya, wahai Abu Bakar!” As Shidiq lalu menjawab: “Aku telah membebaskannya, ya Rasulullah.”
Begitulah akhirnya Bilalpun menjadi seorang yang merdeka dan selamat dari siksaan sang majikan. Kebebasannya menjadikan Bilal seorang yang semakin taat mengikuti ajaran agama Allah dan Rasul-Nya. Ketika Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Bilal pun turut serta berhijrah ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum kafir Quraisy Mekah. Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Ketika Rasulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muazin) dalam sejarah Islam. Bilal pun menjadi Muadzin tetap pada masa Rasulullah Saw. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal. Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Saw seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Saw keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Ketika Rasulullah Saw akan menaklukkan kota Mekah, Bilal berada di samping beliau. Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi oleh 3 orang saja, mereka adalah: Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari orang kesayangan Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di atas ka’bah dan menyerukan kalimat tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan suara yang keras dan menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal. Ribuan lisan manusia yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Saw masuk ke kota Mekah.
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."
Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."
Pada suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu kemana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Begitulah sosok Bilal, dia selalu berada di belakang Rasulullah dalam kondisi apapun. Kecintaannya terhadap Rasulullah Saw pernah membuatnya terbuai dalam mimpi bertemu dengan Rasul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu, Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong dihampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Sesaat setelah Rasulullah Saw menghembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Saw masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir disana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang mendengarnya ikut larut dalam tangisan pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon kepada Abu Bakar, sang khalifah yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Kemudian Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilal segera menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Saw wafat.” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus.
Pada suatu hari, ia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra itu. Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.
Pada waktu kedatangan Umar bin Khatthab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal setelah terpisah cukup lama. Pada saat itu khalifah Umar bin Khattab baru saja menerima kunci kota Yerussalem. Dalam pertemuan tersebut khalifah Umar bin Khattab meminta kepada Bilal untuk mau mengumandangkan adzan dan akhirnya Bilal mau menuruti permintaan sang khalifah. Mendengar Bilal menyuarakan adzan, kaum muslimin merasa sangat terharu, bahkan Umar tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-sedu. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Saw. BiIal adalah pengumandang seruan langit itu.
Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh suara merdu dan syahdu Bilal bin Rabah dihadapan kaum muslimin. Bilal tetap tinggal di Damaskus hingga akhir hayatnya. Menjelang wafatnya Bilal pada tahun keduapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:
“Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Bilal –semoga Allah meridhainya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’, tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).
Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan, ketegaran dan keyakinannya akan ajaran kebenaran, telah mengangkat derajadnya dan menjadikannya seorang mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang hina dan fakir. Sebuah kisah teladan bagi kita semua.

Abu Dzar Al Ghifari


Abu Dzar Al GhifariCetak
Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasulullah Saw tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiamat kelak!" Rasulullah Saw mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah Saw, Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw belum muncul. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang dikalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan umat itu bermunculan laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasulullah Saw yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasulullah Saw,  jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah saw,"Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak diluar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Quran disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiamat dengan api neraka?!"
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan ditangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah disampingku!"
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah, Khalifah Utsman mengambil keputusan:
Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sedikitpun ia tidak ragu, bahwa Allah Swt selalu bersama dia. Kapan saja dan dimana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau diatas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhaan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad Saw. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda umat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad Saw. Imam Ali sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.

Kisah Dibuangnya Abu Dzar 
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas:
Khalifah Utsman  memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali, Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Sayyidina Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Diantara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib. Dzakwan dikemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh takwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"
Atas dorongan Imam Ali, Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertakwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab takwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian Sayyidina Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridha kepadamu."
Kemudian kini berkatalah Sayyidina Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah Swt berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah Swt dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kau katakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasulullah Saw. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah Swt Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan."
Tutur Dzakwan lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan. Kepada Imam Ali, Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan perintahku?"
"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?" tanggap Imam Ali terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali. 
"Mengapa?" tanya Imam Ali. 
"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah. 
"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!" 
"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!" 
"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali. Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."
"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali di rumahnya. Kepada Imam Ali mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"
"Tidak," jawab Imam Ali dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt, Imam Ali berkata: "Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut,"Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu!" Imam Ali segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.

Di Pembuangan
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi kesebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"
"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"
"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw, "Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasulullah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat kesana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"
"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"
"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya diantara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasulullah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!"
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata,"Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…"
"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!" Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri kehadirat Allah Swt Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda taufan.
Selesai dimakamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah Saw, hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah!"
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: "Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."

Hamzah bin Abdul Muthalib....Singa Allah....


Hamzah Bin Abdul Muthalib: Singa AllahCetak

Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu binatang di padang pasir, hal itu telah menjadi hobi dan kegemarannya sejak masa muda.
Siang itu hampir setengah harian ia habiskan waktunya di padang pasir yang luas dan tandus itu, akan tetapi ia tidak mendapatkan buruannya. Akhirnya ia beranjak pulang dan mampir di Ka'bah untuk melakukan thawaf sebelum kembali ke rumah.
Sesampainya di depan Ka'bah seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At Taimi menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kamu melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam-lah, musuh bebuyutannya telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya." kemudian diceritakannya peristiwa itu secara rinci.
Setelah mendengarkan panjang lebar peristiwa yang di alami oleh keponakannya tadi pagi, dia terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Lalu ia membawa busur dan anak panah dan menyandangnya, Kemudian dengan langkah cepat dan tegap, ia pergi menuju Ka'bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Namun belum sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Maka dalam ketenangan yang mencekam, Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantam-kan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur dan mengucur-lah darah segar deras dari dahinya.
"Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Nah sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaan mu itu kepadaku jika kamu berani!", bentak Hamzah kepada Abu Jahal.
Akhirnya dalam beberapa saat orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad.
Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas." 
Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat. Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Sementara itu Abu jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum muslimin berpendapat perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi. Oleh karena itu ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rosulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum muslimin lainnya. Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama islam lebih mendalam.
Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan da'wah islam. Karena itu tidaklah mengherankan jika Rasulullah menjulukinya dengan sebutan "Asadullah" yang berarti singa Allah.
Pasukan kaum muslimin yang pertama kali di kirim oleh Rasulullah dalam perang Badar, di pimpin langsung oleh Sayyidina Hamzah, Si Singa Allah, dan Ali bin Abu Thalib menunjukkan keberaniannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama islam, hingga akhirnya kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang. Banyak korban dari kaum kafir Quraisy dalam perang tersebut, dan tentunya mereka tidak mau menelan begitu saja. Maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas kekalahan yang mereka alami sebelumnya.
Akhirnya tibalah saatnya perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum muslimin. Sasaran utama perang tersebut adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan mereka memiliki rencana yang keji terhadap Hamzah yaitu dengan menyuruh seorang budak yang mahir dalam menggunakan tombak dan organ hatinya akan di ambil dan akan di makan oleh Hindun yang memiliki dendam sangat membara karena suaminya terbunuh dalam perang Badar.
Washyi bin Harb diberikan tugas yang maha berat yaitu membunuh Hamzah dan dijanjikan kepadanya imbalan yang besar pula yaitu akan dimerdekakan dari perbudakan.
Akhirnya kedua pasukan tersebut bertemu dan terjadilah pertempuran yang dahsyat, sementara Sayyidina Hamzah berada di tengah-tengah medan pertempuran untuk memimpin sebagian kaum muslimin.. Ia mulai menyerang ke kiri dan ke kanan. Setiap ada musuh yang berupaya menghadangnya, pastilah kepalanya akan terpisah dari lehernya.
Seluruh pasukan kaum muslimin maju dan bergerak serentak ke depan, hingga akhirnya dapat diperkirakan kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Dan seandainya pasukan pemanah yang berada di atas bukit Uhud tetap patuh pada perintah Rosulullah untuk tetap berada di sana dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan perang yang berada di lembah Uhud, niscaya kaum muslimin akan dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Di saat mereka sedang asyik memungut harta benda musuh islam yang tertinggal, kaum kafir Quraisy melihatnya sebagai peluang dan berbalik menduduki bukit Uhud dan mulai melancarkan serangannya dengan gencar kepada kaum muslimin dari atas bukit tersebut.
Tentunya penyerangan yang mendadak ini pasukan muslim terkejut dan kocar-kacir dibuatnya. Melihat itu semangat Hamzah semakin bertambah berlipat ganda. Ia kembali menerjang dan menghalau serangan kaum Quraisy. Sementara itu Wahsyi terus mengintai gerak-gerik Hamzah, setelah menebas leher Siba' bin Abdul Uzza dengan lihai-nya. Maka pada saat itu pula, Wahsyi mengambil ancang-ancang dan melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Lalu Ia bangkit dan berusaha berjalan ke arah Wahsyi, tetapi tidak berdaya dan akhirnya roboh sebagai syahid.
Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benaknya bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Sayyidina Hamzah dan mengambil hatinya.
Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apapun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini."
Setelah itu Rasulullah dan kaum muslimin men-shalat-kan jenazah pamannya dan para syuhada lainnya satu per satu. Pertama Sayyidina Hamzah di-shalat-kan lalu di bawa lagi jasad seorang syahid untuk di-shalat-kan, sementara jasad Sayyidina Hamzah tetap dibiarkannya di situ. Lalu jenazah itu di angkat, sedangkan jenazah Sayyidina Hamzah tetap di tempat. Kemudian di bawa jenazah yang ketiga dan dibaringkannya di samping jenazah Sayyidina Hamzah. Lalu Rasulullah dan para sahabat lainnya men-shalat-kan mayat itu. Demikianlah Rasulullah men-shalat-kan para syuhada Uhud satu persatu, hingga jika di hitung Maka Rasulullah dan para sahabat telah men-shalat-kan Sayyidina Hamzah sebanyak tujuh puluh kali. 

Friday, 20 April 2012

Abdurrahman bin Auf


Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan yang mula-mula masuk Islam, termasuk kelompok sepuluh yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga, termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah (sebagai formatur) dalam pemilihan khalifah sesudah Umar bin Khattab,  dan seorang mufti yang dipercayai Rasulullah saw untuk berfatwa di Madinah selagi beliau masih hidup di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin.
Namanya pada masa jahiliah adalah Abdul Amar keturunan Bani Zuhrah, lahir tahun 580 M dan setelah masuk Islam Rasulullah saw memanggilnya Abdurrahman bin Auf. 
Abdurrahman bin Auf masuk Islam sebelum Rasulullah saw masuk ke rumah Al-Arqam, yaitu dua hari sesudah Abu Bakar ash Shidiq masuk Islam. Sama halnya dengan kelompok kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy, tetapi dia sabar dan tetap sabar. Pendiriannya teguh dan senantiasa teguh. Dia menghindari dari kekejaman kaum Quraisy, tetapi selalu setia dan patuh membenarkan risalah Nabi Muhammad saw. Kemudian dia turut pindah (hijrah) ke Habasyah bersama-sama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan kaum Quraisy yang senantiasa menerornya.
Tatkala Rasulullah saw. dan para sahabat beliau diijinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor bagi orang-orang yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam perantauan, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar. Maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' al Anshari .
Pada suatu hari Sa'ad berkata kepada saudaranya, Abdurrahman, "Wahai saudaraku Abdurrahman! Aku termasuk orang kaya di antara penduduk Madinah. Hartaku banyak. Saya mempunyai dua bidang kebun yang luas, dan dua orang pembantu. Pilihlah olehmu salah satu di antara kedua kebun itu, kuberikan kepadamu mana yang kamu sukai. Begitu pula salah seorang di antara kedua pembantuku, akan kuserahkan mana yang kamu senangi, kemudian aku nikahkan engkau dengan dia."
Jawab Abdurrahman bin Auf, "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Saudara, kepada keluarga Saudara, dan kepada harta Saudara. Saya hanya akan minta tolong kepada Saudara menunjukkan di mana letaknya pasar Madinah ini." 
Sa'ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman. Maka, mulailah Abdurrahman berniaga di sana, berjual beli, melaba dan merugi. Belum berapa lama dia berdagang, terkumpullah uangnya sekadar cukup untuk mahar menikah. Dia datang kepada Rasulullah memakai harum-haruman. Beliau menyambut kedatangan Abdurrahman seraya berkata, "Wah, alangkah wanginya kamu, hai Abdurrahman."
Kata Abdurrahman, "Saya hendak menikah ya Rasulullah."
Tanya Rasulullah, "Apa mahar yang kamu berikan kepada istrimu?"
Jawab Abdurrahman, "Emas seberat biji kurma."
Kata Rasulullah, "Adakan kenduri, walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu."
Kata Abdurrahman, "Sejak itu dunia datang menghadap kepadaku (hidupku makmur dan bahagia). Hingga seandainya aku angkat sebuah batu, maka dibawahnya kudapati emas dan perak."
Dalam Perang Badar, Abdurrahman turut berjihad fi sabilillah, dan dia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, antara lain Umair bin Utsman bin Ka'ab bin Auf At Taimy. Dalam Perang Uhud, dia tetap teguh bertahan di samping Rasulullah, ketika tentara muslimin banyak yang meninggalkan medan laga. Ketika selesai perang dan kaum muslimin keluar sebagai pemenang, Abdurrahman mendapatkan hadiah sembilan luka parah menganga di tubuhnya dan dua puluh luka kecil. Walau luka kecil, namun di antaranya ada yang sedalam anak jari. Sekalipun begitu, perjuangan dan pengorbanan Abdurrahman di medan tempur jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanannya dengan harta benda. 
Pada suatu hari Rasulullah saw. berpidato membangkitkan semangat jihad dan pengorbanan kaum muslimin. Beliau berdiri ditengah-tengah para sahabat. Beliau berkata, "Bersedekahlah tuan-tuan! Saya hendak mengirim satu pasukan ke medan perang."
Mendengar ucapan Rasulullah saw. tersebut, Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya dan cepat pula kembali ke hadapan Rasululalh di tengah-tengah kaum muslimin. Katanya, "Ya Rasulullah! saya mempunyai uang empat ribu. Dua ribu saya pinjamkan kepada Allah dan dua ribu saya tinggalkan untuk keluarga saya." Lalu uang yang dibawa dari rumah itu diserahkan kepada Rasulullah dua ribu.
Sabda Rasulullah, "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu terhadap harta yang kamu berikan dan semoga Allah memberkati pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu." 
Ketika Rasulullah bersiap untuk menghadapi Perang Tabuk, beliau membutuhkan jumlah dana dan tentara yang tidak sedikit, karena jumlah tentara musuh, yaitu tentara Rum cukup banyak. Di samping itu, Madinah tengah mengalami musim panas. Perjalanan ke Tabuk sangat jauh dan sulit. Dana yang tersedia hanya sedikit. Begitu pula hewan kendaraan tidak mencukupi. Banyak di antara kaum muslimin yang kecewa dan sedih karena ditolak Rasulullah saw. menjadi tentara yang akan turut berperang, sebab kendaraan untuk mereka tidak mencukupi. Mereka yang ditolak itu kembali pulang dengan air mata bercucuran kesedihan, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk disumbangkannya. Mereka yang tidak terima itu terkenal dengan nama "Al Bakkaain" (orang yang menangis) dan pasukan yang berangkat terkenal dengan sebutan "Jaisyul 'Usrah"(pasukan susah).
Karena itu, Rasulullah saw memerintah kaum muslimin mengorbankan harta benda mereka untuk jihad fi sabilillah. Dengan patuh dan setia kaum muslimin memperkenankan seruan Nabi yang mulia. Abdurrahman turut memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Maka kata Umar bin Khattab berbisik kepada Rasulullah saw., "Agaknya Abdurrahman berdosa, tidak meninggalkan uang sedikit juga untuk istrinya."
Rasulullah saw. bertanya kepada Abdurrahman, "Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk istrimu?"
Abdurrahman menjawab, "Ada! mereka saya tinggali lebih banyak daripada yang saya sumbangkan." 
Tanya Rasulullah saw., "Berapa?" 
Jawab Abdurrahman, "Sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Pasukan tentara muslimin berangkat ke Tabuk. Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperolah kaum muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu shalat sudah masuk, Rasulullah terlambat hadir. Maka, Abdurrahman menjadi imam salat berjamaah bagi kaum muslimin ketika itu. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu beliau salat di belakang Abdurrahman dan mengikutinya sebagai makmum. Apakah lagi yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad Rasulullah saw. 
Setelah Rasululalh saw. wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan "ummahatul mukminin" (istri-istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu yang mulia itu bila bepergian. Apabila para ibu tersebut pergi haji, Abdurrahman turut pula bersama-sama mereka. Dia yang menaikkan dan menurunkan para ibu itu ke atas "haudaj" (sekedup) khusus mereka. Itulah salah satu bidang khusus yang ditangani Abdurrahman. Dia pantas bangga dan bahagia dengan tugas dan kepercayaan yang dilimpahkan para ibu orang-orang mukmin kepadanya.
Salah satu bukti yang dibaktikan Abdurrahman kepada ibu-ibu yang mulia, ia pernah membeli sebidang tanah seharga empat ribu dinar. Lalu tanah itu dibagi-bagikannya seluruhnya kepada fakir miskin Bani Zuhrah dan kepada para ibu-ibu orang mukmin, istri Rasulullah. Ketika jatah ibu Aisyah. disampaikan orang kepadanya, ibu yang mulia itu bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buat saya?"
Orang itu menjawab, "Abdurrahman bin Auf."
Aisyah berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda, "Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku, kecuali orang-orang yang sabar."
Begitulah doa Rasulullah saw. bagi Abdurrahman. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya sepanjang hidupnya, sehingga Abdurrahman menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Perniagaannya selalu meningkat dan berkembang. Kafilah dagangnya terus-menerus hilir mudik dari dan ke Madinah mengangkut gandum, tepung, minyak, pakaian, barang-barang pecah-belah, wangi-wangian dan segala kebutuhan penduduk.
Pada suatu hari iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman terdiri dari tujuh ratus unta bermuatan penuh tiba di Madinah. Ya! tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh, tidak salah. Semuanya membawa pangan, sandang, dan barang-barang lain kebutuhan penduduk. Ketika mereka masuk kota, bumi seolah-olah bergetar. Terdengar suara gemuruh dan hiruk pikuk. Sehingga Aisyah bertanya, "Suara apa hiruk pikuk itu?"
Dijawab orang, "Kafilah Abdurrahman dengan iring-iringan tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh membawa pangan, sandang serta lainnya. 
Asiyah berkata, "Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Saya mendengar Rasululalh saw. bersabda, "Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak (karena surga sudah dekat sekali kepadanya)."
Sebelum menghentikan iring-iringan unta, seorang pembawa berita mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf berita gembira yang disampiakan Aisyah, bahwa Abdurrahman bin Auf masuk surga. Serentak mendengar berita itu, bagaikan terbang ia menemuai ibu Aisyah. Katanya, "Wahai Ibu, apakah Ibu mendengar sendiri ucapan itu diucapkan Rasulullah?" 
Jawab Aisyah, "Ya, saya mendengar sendiri." 
Abdurrahman melonjak kegirangan. Katanya, "Seandainya aku sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Sudilah ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh kendaraan dan muatannya, kuserahkan untuk jihad fisabilillah. 
Sejak berita yang membahagiakan itu, Abdurrahman pasti masuk surga, maka semangatnya semakin memuncak mengorbankan kekayaannya di jalan Allah. Hartanya dinafkahkannya dengan kedua belah tangan, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sehingga mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu dia bersedekah lagi 200 uqiyah emas. Lalu diserahkannya pula 500 ekor kuda kepada para pejuang. Sesudah itu 1500 ekor unta untuk pejuang-pejuang lainnya dan tatkala dia hampir meninggal dunia, dimerdekakannya sejumlah besar budak-budak yang dimilikinya. Kemudian diwasiatkannya supaya memberikan 400 dinar emas kepada masing-masing bekas pejuang Perang Badar. Mereka berjumlah seratus orang, dan semua mengambil bagiannya masing-masing. Dia berwasiat pula supaya memberikan hartanya yang paling mulia untuk para ibu-ibu orang mukmin, sehingga ibu Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberikannya minum dengan minuman dari telaga salsabil."
Di samping itu, dia meningggalkan warisan pula untuk ahli warisnya sejumlah harta yang hampir tidak terhitung banyaknya. Dia meninggalkan kira-kira 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3000 ekor kambing, dia beristri empat orang. Masing-masing mendapatkan pembagian khusus 80.000, di samping itu masih ada peninggalannya berupa emas dan perak, yang kalau dia bagi-bagikan kepada ahli warinsnya dengan mengampak, maka potongan-potongannya cukup menjadikan seorang ahli warisnya manjadi kaya raya. 
Begitulah karunia Allah SWT kepada Abdurrahman berkat doa Rasulullah kepadanya semoga Allah memberkatinya dan hartanya. 
Walaupun begitu kaya rayanya, harta kekayaan itu seluruhnya tidak mempengaruhi jiwanya yang penuh iman dan takwa. Apabila ia berada di tengah-tengah budaknya, orang tidak dapat membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan mana yang budak. 
Pada suatu hari dihidangkan orang kepadanya makanan, padahal dia puasa. Dia menengok makanan itu seraya berkata, "Mushab bin Umair tewas di medan juang. Dia lebih baik daripada saya, waktu dikafani, jika kepalanya ditutup, maka terbuka kainnya. Kemudian Allah membentangkan dunia ini bagi kita seluas-luasnya. Sesungguhnya saya sangat takut kalau-kalau pahala untuk kita disegerakan Allah memberikannya kepada kita (di dunia ini)."
Sesudah berkata begitu, dia mengangis tersedu-sesudu, sehingga nafsu makannya jadi hilang. 
Berkatalah Abdurrahman bin Auf dengan ribuan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Rasulullah saw, yang ucapannya selalu terbukti benar telah memberinya kabar gembira dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. 
Telah turut menghantarkan jenazahnya ke tempatnya terakhir di dunia, antara lain sahabat yang mulia Sa'ad bin Abi Waqqash. Pada shalat jenazahnya turut pula, antara lain, Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Kata sambutan saat pemakaman, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Dalam sambutannya antara lain Ali berkata, "Anda telah mendapatkan kasih sayang, dan Anda berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda. Amin!"